
Cacat Hukum Negara Keras Kepala: Pidana Tetap Jatuh
MAA, TZH, FE, AR, BAM, MSA, dan MTH tujuh massa aksi Mayday dan penolak RUU TNI di Bandung telah resmi divonis oleh pengadilan. Meski masa hukuman mereka berbeda-beda, negara dengan segala instrumen kuasanya telah menetapkan mereka sebagai terpidana. Tanpa kecuali, negara melalui kepolisian, TNI, kejaksaan, dan pengadilan menghukum para pemrotes ketidakadilan.
MSA dan MTH dijatuhi hukuman 1 tahun penjara, MAA 6 bulan penjara, sementara TZH, FE, AR, dan BAM 5 bulan 15 hari penjara. Mereka dijerat dengan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebuah pasal yang secara historis kerap dipakai secara lentur untuk menjerat massa aksi. Sementara MAA bahkan dijerat Pasal 2 UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 hanya karena membawa pisau lipat, tanpa perbuatan pidana nyata.
Kriminalisasi terhadap ketujuh massa aksi ini menunjukkan rangkaian pelanggaran hak asasi dan penyimpangan hukum yang serius. Penangkapan sewenang-wenang, tanpa bukti permulaan yang cukup, melanggar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 17 dan 18 yang mensyaratkan adanya dasar hukum yang jelas dalam penangkapan. Pemeriksaan terhadap banyak masa aksi dilakukan tanpa pendampingan hukum, bertentangan dengan hak atas bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 54 KUHAP dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Terdapat pemaksaan dan manipulasi pernyataan selama proses penyidikan, yang jelas melanggar prinsip due process of law dan hak atas peradilan yang adil. Tidak adanya bukti yang cukup kuat untuk menjerat para massa aksi, tetapi tetap dipaksakan ke meja hijau. Hal ini mencerminkan kriminalisasi, bukan penegakan hukum.
Kepolisian bertindak secara serampangan seperti kejar setoran nama. Terlebih, meski pengadilan menyadari banyaknya cacat hukum, memilih untuk tetap menghukum seluruh terdakwa. Ini menegaskan bahwa hukum bukan digunakan untuk mencari keadilan, melainkan sebagai alat kekuasaan untuk membungkam kritik.
Tindakan kriminalisasi terhadap massa aksi ini secara langsung melanggar hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Selain itu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum secara tegas melindungi hak warga negara untuk melakukan aksi protes sepanjang dilakukan secara damai. Dalam kasus ini, aksi Mayday dan penolakan RUU TNI adalah ekspresi politik sah dan dilindungi hukum.
Lebih jauh, Indonesia terikat dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yang menjamin: Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi (Pasal 19), Hak atas kebebasan berkumpul secara damai (Pasal 21), Hak atas perlakuan yang adil dalam proses hukum (Pasal 14).
Kriminalisasi ini juga melanggar prinsip proporsionalitas dan legalitas pidana, karena: Pasal 170 KUHP digunakan tanpa pembuktian unsur kekerasan secara sah. Kepemilikan pisau lipat dijadikan dasar jeratan pidana tanpa memperhitungkan intensi dan konteks aksi. Penggunaan pasal ini berfungsi sebagai deterrent effect untuk membungkam protes publik, bukan menegakkan keadilan.
Kriminalisasi massa aksi ini mencerminkan pola lama: negara menggunakan hukum sebagai instrumen represi politik. Aksi protes publik diposisikan sebagai ancaman, bukan ekspresi demokrasi. Padahal, dalam negara hukum, aparat seharusnya menjamin ruang kebebasan sipil, bukan justru menindasnya.
Negara tidak boleh bersikap pongah. Rakyat yang turun ke jalan bukanlah musuh negara. Mereka adalah warga negara yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyuarakan ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, dan otoritarianisme.
Dampak sosial dan personal dari kriminalisasi ini sangat serius: Hilangnya akses pendidikan bagi mereka yang tengah kuliah, kehilangan pekerjaan bagi yang menjadi tulang punggung keluarga serta hilangnya masa depan yang tengah diperjuangkan.
Seperti tidak jera, saat ini negara terus memburu orang-orang yang melakukan aksi. Kurang lebih seribu nama kembali di kriminalisasi karena melakukan protes.
Maka, dengan ini Lembaga Bantuan Hukum Bandung menyatakan:
- Mengecam keras praktik kriminalisasi terhadap massa aksi Mayday, penolak RUU TNI dan aksi agustus-september.
- Menuntut pembebasan para terpidana dan penghentian seluruh proses hukum yang cacat dan dipaksakan.
- Mendesak negara, khususnya kepolisian, TNI, kejaksaan, dan pengadilan, untuk menghentikan praktik represif terhadap gerakan rakyat.
- Menuntut pemulihan hak-hak para korban kriminalisasi, termasuk hak atas pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan sipil.
- Menyerukan solidaritas luas dari gerakan rakyat, organisasi masyarakat sipil, serikat buruh, mahasiswa, dan publik untuk bersatu melawan represi negara.
Kriminalisasi terhadap mereka adalah potret ketakutan negara terhadap rakyatnya sendiri.
Hentikan kriminalisasi gerakan rakyat!