Preloader
  • 082120171321
  • Jl. Kalijati Indah Barat No. 8, Antapani Bandung 40291
  • Senin-Kamis: 10.00-15.00 WIB

Janji Kosong Konstitusi Terhadap Kemerdekan Beragama dan Berkeyakinan Dalam Lima Tahun Terakhir (Kasus di Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara)

Dalam 5 Tahun terakhir pada rezim Jokowi kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan belum mendapat jaminan utuh dari negara. Praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan masih terus terjadi. Padahal secara normatif negara telah meneguhkan komitmennya melalui Pasal 28E Ayat (1 & 2), dan Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara RI 1945, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik.

Pelanggaran terhadap hak-hak minoritas keagamaan di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir disebabkan oleh beberapa katalisator yang umum dan khusus. Katalisator umum pelanggaran terhadap seluruh kelompok minoritas keagamaan adalah: (1) menguat dan menyebarnya kelompok-kelompok intoleran, (2) lemahnya kebijakan dan regulasi negara, dan (3) ketundukan atau lemahnya aparatur negara, termasuk di tingkat lokal, di hadapan kelompok intoleran. Sedangkan katalisator khusus pelanggaran berkaitan dengan kondisi yang melekat pada masing-masing kelompok minoritas keagamaan. 

Tingginya pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dan minoritas keagamaan secara umum berkaitan dengan variabel kunci (key variable), yaitu belum terbentuknya prasyarat-prasyarat substantif bagi terbangunnya kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan yang ideal, seperti kuatnya jaminan politik-yuridis atas hak untuk beragama/berkeyakinan, adil dan tegasnya penegakan hukum, minimnya intervensi negara sebab beragama/berkeyakinan merupakan hak negatif, dan terbangunnya toleransi dan kesadaran kewargaan (civic awareness) yang mendorong keterlibatan aktif mereka (civic engagement) dalam menghormati kebebasan beragama/ berkeyakinan masing-masing sebagai hak asasi

Kondisi KBB di Jawa Barat.

Di Jawa Barat dalam kurun 5 tahun terakhir masa rezim Jokowi, masih banyak tindakan intoleransi yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum maupun kelompok intoleran yang menggunakan regulasi sebagai dasar dari tindakan intoleran yang dilakukan. Peristiwa tersebut diantaranya:

  1. Pada tahun 2021 Bupati Kab. Garut menerbitkan Surat Edaran Bupati Garut Nomor 451.1/1605/Bakesbangpol tentang Pelarangan Aktivitas Penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Penghentian Kegiatan Pembangunan Tempat Ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampung Nyalindung Kecamatan Cilawu Kabupaten Garut. 
  2. Pada tahun 2021 Kriminalisasi Pendeta di Komplek Adipura atas tuduhan pencemaran nama baik karena mengunggah protes pembubaran peribadatan jumat agung di rumah ibadah jemaat Kristen pentakosta di perumahan Adipura Gedebage Kota Bandung.
  3. Pada tahun 2022 adanya Pemberhentian pembangunan rumah ibadah dikarenakan adanya surat pemberitahuan Kepala RT 008, RW 025, Kelurahan dan Kecamatan Baleendah pada tanggal 04 Januari 2022 untuk tidak melanjutkan pembangunan gedung HKI Bansel.
  4. Pada Tahun 2022 Yana Mulyana selaku walikota Bandung secara simbolis meresmikan Gedung Dakwah Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS).
  5. Pada tahun 2023 adanya pelarangan aktivitas JAI Parakansalak Sukabumi berupa perbaikan pembangunan madrasah. Pelarangan pembangunan tersebut menggunakan dalih melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No. 10 tahun 2015 tentang penyelenggaraan ketertiban umum dan ketertiban masyarakat.

Kondisi KBB di Kalimantan Barat

Masjid Ahmadiyah di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat diserang oleh sekitar 200 orang pada Jumat (3/9/2021). Akibatnya, bangunan masjid rusak dan satu bangunan di belakangnya dibakar.

  1. Pemerintah Kabupaten Sintang yang mengeluarkan Surat Peringatan (SP) 3 agar warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Sintang membongkar Masjid Miftahul Huda di Desa Bale Harapan, Sintang, Kalimantan Barat. Pembongkaran paksa tersebut dengan alasan rumah ibadah tak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), surat itu diteken pada 7 Januari 2022.
  2. Pada tanggal 15 Februari 2023, Bupati Sintang, Jarot Winarno, mengeluarkan Surat Edaran Nomor 180/0838/KESBANGPOL/2023 tentang pelarangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Sintang. Surat edaran tersebut juga memuat pernyataan bahwa aliran Ahmadiyah merupakan aliran yang sesat. Dalam surat edaran tersebut, Bupati mengacu kepada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 serta Fatwa MUI hasil Munas VII Tahun 2005 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan.
  3. Penolakan UAS oleh masyarakat adat Dayak di Kab. Sintang pada Februari 2024 karena dianggap UAS sebagai provokator

Kondisi KBB di Sulawesi Utara

  1. Pengrusakan tempat ritual penghayat kepercayaan Laroma di Desa Tondei, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara (2022);
  2. Pelarangan ibadah Jemaat Ratatotok GMAHK di Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara (2022);

Padahal sudah jelas di dalam pembukaan UUD NRI 1945, sesungguhnya tegas menyatakan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Kalimat ini memberi makna bahwa tujuan berdirinya NKRI adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, gender, maupun golongan-golongan tertentu sehingga apapun agamanya dan siapapun kelompok agamanya di Indonesia, negara harus menjamin dan melindungi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan. Hal tersebut merupakan kewajiban negara yang harus tunduk pada norma dasar tertinggi.

Selain itu, dalam perlindungan konstitusional hak kebebasan beragama atau berkeyakinan telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2), sehingga negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, menjamin, dan memenuhi hak kebebasan beragama seluruh warga negara tanpa terkecuali. Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945 juga telah menegaskan bahwa hak beragama merupakan hak yang tidak dapat dicabut (non-derogable rights). Demikian pula, Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa seluruh warga negara berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif.