Preloader
  • 082120171321
  • Jl. Kalijati Indah Barat No. 8, Antapani Bandung 40291

Penghalang-halangan Bantuan Hukum Peserta Aksi di Polda Jabar dan Penyerangan Terhadap Kampus UNPAS & UNISBA di Bandung

Setelah rangkaian aksi merespons kebijakan tunjangan DPR serta berbagai brutalitas aparat yang terbalut dalam aksi Darurat Kekerasan Negara di Jawa Barat yang bermula pada 29 Agustus 2025. Lanjutan dari aksi tersebut, masih ada rangkaian aksi sampai dengan 1 September 2025 dengan tuntutan yang sama. Berdasarkan penelusuran fakta yang dilakukan oleh tim LBH Bandung, terdapat 33 orang peserta aksi yang ditangkap oleh Polrestabes Bandung dengan rincian 24 orang dewasa dan 9 orang anak di bawah umur. Dari 24 orang dewasa, 3 di antaranya dilimpahkan ke Polda Jabar untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Dalam proses pemenuhan hak pendampingan hukum, terdapat aksi penghalang-halangan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Pada tanggal 1 September, sejak pukul 18.00 WIB tim LBH Bandung berjaga di Polda Jabar untuk memastikan hak pejuang demokrasi untuk mendapat bantuan hukum terpenuhi. Sekitar pukul 22.00 WIB terjadi dialog alot antara tim hukum dari LBH Bandung dan pihak kepolisian mengenai akses pendampingan hukum untuk pejuang demokrasi serta akses informasi mengenai data peserta aksi yang ditangkap. Selama proses tersebut, terus terjadi penghalang-halangan akses bantuan hukum dan akses informasi kepada tim hukum. Akhirnya LBH Bandung membuat posko di sekitar Polda Jabar dengan mendirikan stand banner. Merespons hal tersebut, pihak kepolisian langsung antipati dan melakukan pengusiran terhadap tim LBH Bandung yang membuka posko pengaduan di sana. 

Pada waktu yang sama, terjadi penyerangan terhadap kampus yang menjadi safezone peserta aksi yang menjadi tempat berkumpul tim medis, yakni Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) yang terletak di daerah Tamansari, Kota Bandung. Semua bermula pada pukul 21.57 WIB peserta aksi ditarik mundur karena mendengar aparat sudah bersiap dengan peralatan lengkap seperti hendak perang dengan rakyatnya sendiri. Kemudian, Pukul 22.13 WIB beberapa peserta aksi pulang, dan beberapa masih bertahan di sekitaran Kampus Unpas dan Unisba. Upaya bertahan tersebut bertujuan agar aparat tidak masuk ke area kampus yang merupakan institusi netral dan ruang aman bagi peserta aksi. Pukul 22.49 WIB dengan posisi informasi yang masih simpang siur mengenai keberadaan intel dan aparat, ada informasi di Taman Radio terdapat sekitar 9 orang yang dicurigai sebagai aparat berada di dekat semak-semak. Hal itu membuat peserta aksi merasa tidak aman jika harus pulang lebih awal. 

Pukul 23.00 WIB, terdapat informasi jika massa dikepung dari arah selatan dan utara. Di saat yang sama, beberapa peserta aksi yang bertahan di sekitar Unisba dan Unpas, mendapat informasi bahwa di daerah DPRD Jabar, Gedung Sate dan Cisangkuy, aparat sudah bersiap-siap dengan senjata. Pukul 23.30 WIB ketika hampir 70% massa sudah memutuskan untuk pulang dan sisanya sedang bersiap untuk pulang, ada informasi bahwa aparat sudah berjalan menuju ke arah Unpas dan Unisba. Tidak lama berselang, dari arah selatan tiba-tiba banyak sekali aparat yang turun. Akhirnya massa yang bertahan di daerah Unpas dan Unisba masuk ke dalam kampus dengan tergesa-gesa. Tak lama dari itu, aparat kepolisian melakukan penyerangan dengan menembakan gas air mata ke arah kampus Unpas, kemudian ke arah Unisba. Setelah menciptakan situasi genting dan membahayakan masyarakat sipil, pada pukul 00.40 WIB, ketika massa sedang “mengungsi” sambil mencari tempat yang lebih aman di dalam kampus, tak lama setelah itu ada drone yang mengawasi di atas kampus Unpas dan Unisba. 

Merespons penyerangan terhadap institusi kampus sekaligus ruang aman bagi peserta aksi, LBH Bandung secara tegas mengutuk dan mengecam penggunaan kekerasan berlebihan (excessive use of force) oleh aparat bersenjata, termasuk penggunaan gas air mata yang membabi-buta. Insiden penyerangan ke dalam kampus Unisba dan Unpas sebagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan melanggar hukum secara berat. Kami menekankan bahwa kampus adalah zona demokrasi dan ruang aman yang harus dilindungi.

Perbuatan aparat merupakan Pelanggaran terhadap Hak atas Kebebasan Berekspresi dan Berkumpul (Pasal 28E UUD 1945 dan Pasal 19 & 21 ICCPR). Penggunaan gas air mata di dalam lingkungan kampus merupakan bentuk pembatasan yang tidak proporsional terhadap hak ini. Tindakan ini efektif mematikan suara kritis dan menciptakan iklim ketakutan (chilling effect).

Penggunaan gas air mata untuk membubarkan massa merupakan pelanggaran Prinsip Proporsionalitas dan Necessity (Kebutuhan) dalam Penggunaan Kekuatan. Prinsip tersebut diatur dengan jelas dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (terkait tindakan aparat) dan Kode Etik Kepolisian (Perkap No. 1 Tahun 2022), serta instrumen internasional seperti United Nations Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials. Aparat hanya boleh menggunakan kekuatan yang sebanding dengan tingkat ancaman. Gas air mata adalah alat yang dirancang untuk situasi kerusuhan (riot) berskala besar di ruang terbuka, bukan untuk membubarkan mahasiswa yang berada di dalam pagar kampus. mahasiswa yang di dalam kampus bukan ancaman terhadap keamanan publik dan apparat. Oleh karena itu, penggunaan gas air mata adalah tindakan yang tidak perlu (not necessary) dan tidak proporsional. Ada banyak metode persuasif dan dialogis lain yang dapat dilakukan sebelum menggunakan cara-cara kekerasan.

Pelanggaran terhadap Hak atas Rasa Aman (Pasal 28G UUD 1945), Setiap orang berhak merasa aman dan bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Gas air mata menyebabkan efek fisik yang menyakitkan (sesak napas, iritasi kulit dan mata, mual, muntah) dan trauma psikologis. Menyerang kampus yang seharusnya menjadi tempat perlindungan (sanctuary) dengan senjata kimia adalah pelanggaran berat terhadap rasa aman seluruh sivitas akademika.

Jika ada aksi yang dilakukan berpotensi melanggar hukum (misalnya perusakan), tindakan yang tepat adalah penangkapan secara selektif berdasarkan identifikasi, bukan menghukum massa secara kolektif dengan menyerang seluruh area kampus. Pembubaran paksa dengan gas air mata merupakan bentuk “hukum rimba” yang mengabaikan prosedur hukum yang benar.

Kemudian, kami mengecam tindakan penghalang-halangan terhadap akses bantuan hukum sebagai bentuk pelanggaran hak konstitusional setiap warga negara. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik, serta Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Penghalang-halangan pemberian bantuan hukum bagi peserta aksi yang ditangkap membuka peluang bagi aparat untuk melakukan tindakan sewenang-wenang dan tindakan pelanggaran prosedur hukum acara pidana lainnya. 

Rangkaian tindakan penyerangan dan penghalang-halangan terhadap akses bantuan hukum yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian, merupakan Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan dan hukum yang berlaku (Due Process of Law).     

 

Narahubung:

+62 822 5884 3986 – LBH Bandung

Rafi12@lbhbandung.or.id – Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan LBH Bandung