
Seorang Laki-Laki Membunuh Kekasih Perempuan Dengan Terencana Di Kuningan, Jawa Barat
Pada hari Senin (17/6/2024) ditemukan jasad seorang perempuan yang menjadi korban pembunuhan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pelaku, seorang pria berinisial FAR, tega menghabisi nyawa pasangannya, ANH, di sebuah kamar hotel. Keluarga tinggal di Kabupaten Bandung, namun Ia menetap di Jakarta karena pekerjaan. Di sana, ANH berkenalan dengan FAR melalui aplikasi kencan dan menjalin hubungan asmara. Namun, hubungan ini tidak berjalan sehat, penuh dengan relasi kuasa yang timpang. FAR kerap memeras ANH secara materiil dan mengancam setiap kali ANH berbicara tentang perpisahan.
Pada Minggu (16/6/2024), FAR mengajak ANH pergi ke Kuningan dengan dalih mengunjungi saudaranya. Tanpa diketahui ANH, FAR telah merencanakan aksi keji dengan membawa pisau yang disimpan dalam tas. Mereka tiba di Kuningan dan check-in di Hotel M pada pukul 15.50 WIB, malam takbir Idul Adha. Setelah beristirahat, FAR keluar seorang diri pada malam hari untuk membeli sarung tangan dan beberapa barang di minimarket. Pukul 00.30 WIB, saat ANH tidur, FAR melakukan aksi pembunuhan. Ia menusuk dan menyayat leher Korban dengan pisau serta membekapnya. Setelah itu, FAR menyeret tubuh Korban ke kamar mandi dan membersihkan darah di kamar sebelum kabur dengan membawa barang-barang milik korban.
Jasad ANH ditemukan pada pagi harinya. Polisi berhasil menangkap FAR 12 jam kemudian dan menjeratnya dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana atau Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. FAR terancam hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama 20 tahun. Kasus ini menunjukkan bahwa FAR memandang ANH bukan sebagai individu yang memiliki hak dan kebebasan, melainkan sebagai objek yang bisa dikontrol dan dipaksa mengikuti keinginannya. Pembunuhan ini bukan hanya pelanggaran hak hidup, tetapi juga pelanggaran terhadap harkat, martabat, dan kebebasan ANH. Kekerasan ini termasuk dalam kategori femisida karena terjadi dalam konteks relasi kuasa. Posisi Korban sebagai perempuan menempatkannya dalam kerentanan terhadap kekerasan hingga pembunuhan, karena martabat dan kebebasannya dipandang sebagai ancaman terhadap kontrol yang ingin dipertahankan oleh pelaku. Femisida seringkali menunjukkan adanya ketidaksetaraan mendasar yang mencerminkan kekerasan berbasis gender. Hal ini mengingat korban kerap diintimidasi, dikendalikan, bahkan dibunuh saat dianggap menentang kehendak pelaku.
Kampanye anti-femisida perlu disuarakan secara menyeluruh, baik melalui edukasi masyarakat mengenai kekerasan berbasis gender yang berbeda dari kasus kriminal biasa, maupun melalui advokasi untuk penegakan keadilan bagi korban. Dengan meningkatkan pemahaman dan respons yang konkret terhadap femisida, keadilan yang berpihak pada korban dapat terwujud. Di sisi lain hal ini dapat mendorong upaya pencegahan yang lebih efektif untuk melindungi perempuan dari berbagai kekerasan berbasis gender.