
Sudah Dibuat Miskin, Divasektomi Negara Pula
Belakangan, Gubernur Jawa Barat membuat kebijakan menyoal Vasektomi. Tentu saja kebijakannya menuai komentar yang bernada positif maupun negatif. Dedi Mulyadi atau yang kerap disapa “Bapak Aing” ini bermaksud mengontrol angka kelahiran pada kelompok masyarakat miskin.
Vasektomi sendiri merupakan prosedur bedah yang memutus atau menyumbat saluran sperma. Dasarnya merupakan bentuk sterilisasi bagi laki-laki. Kebijakan tersebut mengingatkan kita pada sejarah kelam eugenika yang dijalankan oleh rezim Nazi Adolf Hitler. Pengendalian kelahiran di bawah rezim tersebut digunakan untuk tujuan diskriminatif dan rasis. Kebijakan vasektomi bagi orang miskin memiliki kesamaan diskriminatif yang jelas bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
Kebijakan ini menunjukan sudut pandang negara terhadap kelompok miskin hanya sebagai beban yang harus disterilisasi. Cara pandang ini akan menghasilkan stigma dan segregasi sosial. Sedangkan jika kita membaca pemaparan dari Karl Marx, kemiskinan bukanlah hasil dari kesalahan individu, melainkan akibat dari sistem yang menindas dan hanya menguntungkan segelintir orang. Menurutnya kemiskinan itu lahir karena struktur dalam masyarakat.
Namun pola berpikir ini agaknya sulit dimengerti oleh banyak pejabat dan politisi di Indonesia. Padahal jika dipandang secara struktur, kemiskinan tidak lahir dari kemalasan. Kemiskinan lebih banyak dipengaruhi struktur dan sistem yang tidak mendukung peningkatan taraf hidup. Negara mengkapitalisasi hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, hingga kepemilikan lahan. Kebijakan vasektomi untuk mendapatkan banutan sosial (bansos), yang memaksa orang miskin untuk menukar hak reproduksi demi memenuhi kebutuhan dasar, adalah contoh jelas bahwa kemiskinan tidak dilihat secara holistik dan mendalam.
Terdapat dua hal yang perlu dibaca ulang. Pertama, bagaimana jika seseorang yang dipaksa menjalani vasektomi untuk mendapatkan bantuan sosial, berhasil meningkatkan taraf hidupnya dan ingin memiliki anak lagi? Kedua, bagaimana jika seseorang yang saat ini dalam keadaan sejahtera, dengan kebebasan memilih untuk memiliki anak, kemudian jatuh miskin di masa depan? Meski, sistem ekonomi neoliberalisme lebih memungkinkan seseorang terjerumus kembali ke kemiskinan daripada naik ke taraf hidup yang lebih baik. Permasalahan utamanya bukanlah pada “alat reproduksi” yang dicabut oleh kewenangan negara, tetapi bagaimana negara membentuk kesadaran kolektif tentang risiko dan beban memiliki banyak anak dalam konteks kemiskinan.
Jika melihat persoalan ini dengan perspektif Hak Asasi Manusia, kita tahu bahwa kontrasepsi termasuk dalam Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Setiap individu berhak membuat keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksinya tanpa diskriminasi, paksaan, atau kekerasan. Oleh karena itu, negara tidak boleh memaksakan kebijakan vasektomi ini karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang diakui secara internasional, termasuk hak untuk menentukan jumlah anak yang ingin dimiliki.
Kebijakan vasektomi untuk mendapatkan bantuan sosial juga bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 34, yang menegaskan tanggung jawab negara untuk merawat fakir miskin dan anak-anak terlantar serta menyediakan sistem jaminan sosial. Kebijakan ini juga melanggar Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, yang mewajibkan negara untuk memenuhi hak atas pendidikan dan penghidupan yang layak.
Meskipun vasektomi sebagai alat kontrasepsi bisa dipandang sebagai upaya untuk keadilan gender, jika dijadikan syarat untuk menerima bansos, maka kebijakan ini malah menunjukkan kurangnya perhatian terhadap isu gender dan kesejahteraan perempuan, hanya sekadar mencari perhatian isu tanpa keberpihakan yang nyata.
Masalah kemiskinan, memerlukan pendekatan struktural dan holistik, bukan kebijakan yang hanya menyelesaikan masalah di permukaan. Kebijakan vasektomi untuk orang miskin hanya menyelesaikan masalah di hilir, sementara akar permasalahan di hulu tetap tidak terjamah. Pemerintah seharusnya fokus pada mengatasi sistem yang menyebabkan kemiskinan, bukan sekadar menyingkirkan orang miskin. Seperti kata Cak Munir, “Memerangi kemiskinan bukanlah memerangi orang miskin.”
Kita bisa melihat dengan jelas etos kerja dari ibu-ibu di kampung kota yang menanggung beban ganda, atau para pedagang kaki lima yang bangun pagi buta untuk menyiapkan bahan dagangan dan berkeliling. Apakah mereka bisa dikategorikan sebagai ‘pemalas’? Jelas tidak.
Lalu, apa sebenarnya penyebab kemiskinan? Sistem yang membuat orang tidak memiliki kemampuan untuk mengubah nasib. Alih-alih mencari akar masalah dari hulu ke hilir, pemerintah seringkali memilih solusi instan. Salah satunya adalah kebijakan Gubernur Jawa Barat yang mengusulkan vasektomi sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial (bansos).