8 Maret diperingati sebagai hari Perempuan Sedunia, LBH Bandung pada peringatan tersebut menilai kondisi perempuan masih memprihatinkan. Jumlah kekerasan terhadap perempuan meningkat seperti pada catatan Komnas Perempuan, terjadi peningkatan kasus dari tahun 2018 sebanyak 406.178 kasus menjadi 431.471 kasus pada tahun 2019. Bukannya membuat kebijakan dan kultur setara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, pemerintah Indonesia justru menempatkan perempuan dan melanggengkan perempuan pada posisi manusia kelas dua.
Awal tahun 2019 lalu, perempuan dihadapkan dengan perjuangan
melahirkan RUU Masyarakat Adat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU
Pekerja Rumah Tangga. Namun pemerintahan tidak mendukung hal tersebut, terbukti
dengan pembahasan yang mandek, tidak ada kemajuan baik pembahasan apalagi tahap
mensahkan RUU tersebut. Pemerintahan justru mendahulukan pembahasan RKUHP dan
seperangkat RUU investasi dan koruptor yang bermasalah dengan memiliki
pasal-pasal kontroversial dan absurd. Akibatnya, masyarakat miskin dan kelompok
rentan seperti perempuan dan masyarakat adat semakin terancam kriminalisasi
dengan adanya RUU bermasalah tersebut. Jelas pemerintah hanya memikirkan
kesejahteraan pemilik modal dan koruptor daripada kesejahteraan seluruh
masyarakat Indonesia sesuai amanat konstitusi.
Belum selesai tuntutan perempuan di atas, sudah lahir
kembali kebijakan yang semakin menyudutkan perempuan dengan pembahasan RUU
Ketahanan Keluarga. Lahirnya pembahasan RUU Ketahanan Keluarga semakin
menunjukkan jati diri pemerintah yang otoriter dimulai dengan penundukan
komunitas yang paling kecil dalam bernegara, yakni keluarga, khususnya menjerat
perempuan yang dikurung dalam standar domestifikasi keluarga yang “benar dan
baik”. Adanya standarisasi tersebut membatasi perempuan untuk berpartisipasi di
bidang ekonomi, sosial dan politik. Betapa negara melanggengkan praktek
kekerasan terhadap perempuan yang sifatnya tidak hanya kultural, tapi juga
struktural dan sistematis.
Praktek mendomestikan perempuan ini jika dijalankan akan
semakin berbahaya karena memposisikan perempuan semakin tidak berdaya,
mengingat perempuan hingga saat ini saja belum benar-benar terlindungi melalui
penegakan UU Perkawinan yang mana poligami dapat terjadi dengan adanya izin
dari istri terdahulu. Nyatanya praktek poligami tetap berlangsung bahkan tanpa
sepengetahuan dan persetujuan istri terdahulu. Saat dihadapkan dengan kondisi
untuk melegalkan pernikahan poligami tersebut maka seringkali laki-laki memilih
menceraikan istri terdahulu, dalam hal ini eksistensi perempuan istri pertama
dihilangkan begitu saja. Melihat hal ini negara justru membiarkan hal tersebut
dan menganggap kekerasan terhadap perempuan ini sebagi praktek alamiah. Padahal
berdasarkan catatan Komnas Perempuan 100 perkosaan dalam perkawinan terjadi di
tahun 2019.
Belum lagi lemahnya penanganan kasus kekerasan seksual di
ranah pendidikan ataupun di tempat umum lainnya, termasuk di media sosial. Beberapa
testimoni dari NamaBaikKampus menunjukan 174 penyintas pernah mengalami
kekerasan seksual di Kampus. Dalam dunia digital sendiri berdasarkan catatan
Komnas Perempuan terjadi 281 kasus kekerasan berbasis gender online dan 65
kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat korban seperti
pacar, mantan pacar dan suami.
Prahara diatas belum usai dan sekarang Situasi bertambah
buruk negara menghantarkan OMNIBUSLAW untuk masyarakatnya, paket OMNIBUSLAW
inilah yang masyarakat kritisi bahkan menuntut untuk tidak disahkan karena dari
draft tersebut sudah tercium bau-bau ketidakadilan yang semakin sangat mencekik
kesejahteraan rakyat Indonesia. Pengaturan dalam OMNIBUSLAW tersebut malah
menghilangkan hak-hak perempuan di dunia ketenegakerjaan alih-alih meratifikasi
konvensi ILO 190-183-189. konvensi ILO 190 tentang penghapusan kekerasan dan
pelecehan di dunia kerja, konvensi ILO 183 tentang perlindungan ,maternitas dan
189 tentang kerja layak bagi pekerja rumah tangga. Hasil dari riset Perempuan
Mahardika menunjukan 56,5 % buruh perempuan di KBN Cakung mendapatkan pelecehan
di tempat kerja. Potret buram kondisi perburuhan di pabrik ini adalah cerminan
ketidakseriusan negara melakukan perlindungan terhadap hak-hak buruh.
Di sisi lain, dari dulu hingga saat ini kelompok LGBTI dan
disabilitas belum terakomodir untuk mendapat pekerjaan. Belum lagi dari data
yang dihimpun oleh Arus Pelangi sejumlah 1850 individu LGBTI mengalami tindakan
persekusi dengan berbagai bentuk tindakan seperti pemukulan, pengusiran, pembunuhan,
perkosaan dan penyiksaan. Bahkan upaya kriminalisasi terhadap kelompok ini
dilakukan oleh negara dengan dibentuknya Satuan Tugas Anti LGBT di Kepolisian
Daerah Jawa Barat. Stigma yang terus digulirkan oleh negara dengan adanya Peraturan
Daerah yang bersifat diskriminatif di berbagai wilayah seperti Cianjur, Tasikmalaya,
Indramayu, Cirebon hingga Palembang, Aceh dan Padangpanjang.
Melihat kondisi saat ini, sudah patut dan layak bahwa ibu
pertiwi masih bersusah hati dan berlinang air mata, mengingat negara bukannya
menghargai dan menghormati serta melindungi perempuannya, tetapi malah
melanggenggkan kekerasan sistematis terhadap perempuan melalui
kebijakan-kebijakannya.
Untuk itu, LBH Bandung menuntut :
Tuntaskan kasus kekerasan pada perempuan
Bangun sistem perlindungan konperhensif bagi
perempuan
Cabut kebijakan diskriminatif gender
Sah RUU perlindungan PKS dan RUU perlindungan
PRT
Tolah omnibuslaw RKUHP dan RUU ketahanan
keluarga
Hentikan agenda pembangunan yang berpihak pada
investor.