Preloader
  • 082120171321
  • Jl. Kalijati Indah Barat No. 8, Antapani Bandung 40291

Darurat Kekerasan Negara: Hentikan Represivitas terhadap Peserta Aksi di Jawa Barat

Krisis demokrasi kini semakin memuncak di tengah produksi regulasi yang tidak menjawab kesejahteraan rakyat. Dalam situasi krisis ini wakil rakyat justru nampak tak punya malu dan tak punya empati. Keadaan ini melahirkan kemarahan besar dari rakyat. Negara malah menjawabnya dengan tindakan represif hingga terus menimbulkan korban. 

Di Jakarta, seorang pengemudi ojek online harus kehilangan nyawanya akibat dilindas oleh kendaraan taktis Brimob. Merespon situasi tersebut, masyarakat sipil berbondong-bondong meluapkan kemarahan di jalanan. Gelombang kemarahan ini akhirnya juga melahirkan 7 orang lain yang harus meregang nyawa.

Tindakan menjalankan perwujudan negara demokratis melalui aksi protes justru dihadapkan dengan brutalitas aparat bersenjata berupa penggunaan kekerasan yang berlebihan. Tidak hanya melanggar prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), tindakan tersebut juga menegaskan bahwa negara gagal menjaga amanat reformasi, menjadi negara yang berpihak pada rakyat.

Sejak 29 Agustus 2025 hingga saat pers rilis ini dipublikasikan, LBH Bandung membuka hotline layanan bantuan hukum untuk para pejuang demokrasi di Jawa Barat. Hotline ini dibuka dengan dasar bahwa peserta aksi bukanlah kriminal. Mereka adalah pejuang demokrasi yang haknya wajib negara hormati dan lindungi berdasarkan prinsip-prinsip HAM.

LBH Bandung mencatat adanya penangkapan secara acak yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Bandung. Total terdapat 147 orang yang ditangkap. Dari jumlah tersebut, pada 29 Agustus sebanyak 23 orang ditangkap. Selanjutnya, 30 Agustus tercatat 83 orang. Kemudian, pada 31 Agustus masih ada 9 orang yang ditangkap. Jika dirinci berdasarkan kategori usia, dari total 147 orang tersebut, 110 orang merupakan dewasa, sedangkan 37 orang lainnya adalah anak-anak di bawah umur. Keseluruhan peserta aksi yang ditangkap dibawa ke Polda Jabar. 

Tidak hanya penangkapan, LBH Bandung mencatat adanya beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepada peserta aksi, termasuk penggunaan gas air mata yang telah kadaluarsa untuk membubarkan peserta aksi. Tindakan tersebut menimbulkan banyak korban luka-luka. Berdasarkan pemantauan di titik aksi dan posko kesehatan sepanjang 29-30 Agustus 2025, terdapat ±332 korban yang mengalami luka-luka. Mayoritas mengalami sesak napas dan luka ringan hingga luka berat.

Adapun salah satu peserta aksi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dengan tuduhan tindak pidana melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pejabat yang sedang menjalankan tugas dan tindak pidana penggunaan kekerasan terhadap orang atau barang sebagaimana diatur dalam Pasal 170, Pasal 214, dan Pasal 406 KUHP. Selain itu, terdapat seorang peserta aksi yang status hukumnya naik menjadi penyidikan dengan tuduhan tindak pidana membawa senjata tajam sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Penetapan ini dihasilkan dari proses hukum yang tidak sesuai dengan hukum acara. Mereka dipaksa mengakui tindakan yang tidak mereka lakukan dengan disertai intimidasi dan penyiksaan.

Selain di Bandung, LBH Bandung juga memberikan pendampingan dan pemantauan di berbagai wilayah di Jawa Barat, yakni Ciamis, Cianjur, Cirebon, Kuningan, dan Indramayu. Pada penangkapan di tanggal 29 hingga 31 Agustus 2025, terlihat kesamaan pola represifitas yang dilakukan oleh Aparat. Di Ciamis, terdapat 39 orang yang ditangkap dan 16 diantaranya kemudian ditetapkan menjadi tersangka. Adapun di Cianjur terdapat 106 orang yang ditangkap, sedangkan di Cirebon terdapat 3 orang yang ditangkap. 

Penangkapan tersebut disertai dengan tindakan kekerasan hingga tindakan yang merendahkan harkat martabat manusia. Berdasarkan hasil pemantauan dan kerja-kerja bantuan hukum yang LBH Bandung lakukan, kepolisian tidak memberikan akses bantuan hukum kepada LBH Bandung untuk melakukan pendampingan kepada peserta aksi. Penahanan yang dilakukan telah lebih dari 1 x 24 jam. Hal ini tidak sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Terlebih, sebagian besar orang yang ditangkap merupakan korban asal tangkap. Kepolisian pun melakukan kekerasan secara fisik kepada para peserta aksi, terlihat dari banyaknya luka-luka yang dialami oleh peserta aksi baik saat dibawa ataupun saat keluar dari Polda Jabar. Selain itu, terdapat pula penyitaan ponsel milik peserta aksi yang dilakukan secara sewenang-wenang. 

Di tengah upaya masyarakat menyuarakan aspirasi yang merupakan bagian dari hak berpendapat dan berekspresi negara masih gencar melanggar HAM melalui aparatnya. Hal tersebut memperkuat temuan bahwa tindakan represif negara tidak hanya terpusat di kota-kota besar, namun telah menyebar secara sistematis ke daerah-daerah. Hal ini menunjukkan sebuah pola pembungkaman suara kritis dan partisipasi publik di tingkat akar rumput, yang justru merupakan pilar penting dari kehidupan demokrasi.

Kekerasan aparat juga merupakan cerminan sikap pemerintah dalam merespons kritik publik. Presiden sebagai pemegang kendali utama kepolisian tidak boleh berpura-pura tidak tahu. Diamnya Presiden atas tindakan brutalitas aparat kepolisian sama dengan memberikan persetujuan atas tindakan tersebut dan merupakan pelanggaran HAM dengan pembiaran (by omission). Bahkan, layak dicurigai bahwa kekerasan ini adalah strategi negara membungkam kritik dan seolah tidak menghendaki partisipasi publik dalam urusan tata kelola negara.

Oleh karena itu, LBH Bandung mengecam segala bentuk tindakan represif negara dan mendesak:

  1. Segera bebaskan seluruh peserta aksi yang ditangkap dan ditahan di seluruh Indonesia terkhusus di Jawa Barat;
  2. Berikan akses bantuan hukum kepada peserta aksi khususnya bagi mereka yang masih di bawah usia dewasa sebagaimana dijamin oleh Pasal 14 ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan sesuai dengan amanat bantuan hukum melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;
  3. Hentikan kekerasan terhadap peserta aksi yang mana merupakan pelanggaran HAM dan aparat kepolisian wajib mengedepankan tindakan yang mengutamakan harkat martabat manusia yang dijamin hak untuk bebas dari penyiksaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  4. Mengecam keras praktik brutalitas aparat kepolisian maupun penghalang-halangan hak warga negara dalam menyampaikan pendapat dimuka umum melalui berbagai tindakan kekerasan, upaya paksa, termasuk penggunaan kekuatan senjata yang berlebihan;
  5. Kementerian HAM, Kementerian Hukum, Kementerian PPA, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Disabilitas, dan Ombudsman RI, untuk mendorong institusi kepolisian agar menghentikan tindakan yang sewenang-wenang dan membebaskan peserta aksi yang ditangkap;
  6. Polri untuk menghentikan segala tindakan brutal, menghentikan sweeping/penyisiran/penangkapan acak, dan penangkapan tanpa dasar;
  7. Presiden RI dan jajarannya untuk segera bertanggung jawab atas kondisi yang terjadi saat ini.

Sebagai penutup, LBH Bandung berkesimpulan dari pemantauan aksi yang dilakukan bahwa situasi saat ini mencerminkan negara semakin represif dan berwatak keras yang semakin mencirikan kekuasaan yang otoriter anti kritik. 

 

Narahubung:

+62 822 5884 3986 – LBH Bandung

Rafi12@lbhbandung.or.id – Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan LBH Bandung