“Dan kita selesaikan ini, supaya sesiapa saja yang tahu mereka tidak mempunyai dokumen tetap tinggal di Sabah cepat-cepatlah pulang ke negara asal sebab kita akan buat operasi besar-besaran,”
Hamzah Zainudin, Menteri Dalam Negeri Malaysia, Agustus 2020
“Kalau kena razia, kita orang dibuangnya dimana ya? Pasal keadaan begini, Covid ini, terus tangkap orang, gak masuk akal. Ini yang susah. Kita kan harus jaga jarak, kalau kumpul yang di penampungan di penjara-penjara kan berkumpul. Memang gak masuk akal.”
Ergusem, Buruh Migran Perkebunan Sawit di Sabah, 10 Agustus 2021
“Kerja masih normal, tapi malamnya bertapo. Kerja terus, tapi razia pun terus. Kalau kami kena tangkap, siapa mau panen, bangkrut kompeni (perusahaan).”
Thomas, Buruh Migran Perkebunan Sawit di Sabah, 10 Agustus 2021
Sejak merebaknya pandemi, otoritas Sabah seringkali mengatakan jika penyebab utama meningkatnya penularan Covid-19 adalah keberadaan imigran ilegal yang menyebrang melalui ratusan jalur tikus di perbatasan. Karenanya melakukan berbagai operasi penangkapan terhadap migran tak berdokumen di saat pandemi adalah hal yang dinilai perlu untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Gelombang razia imigrasi berskala besar dilakukan di berbagai lokasi, baik di perbatasan, perkebunan maupun daerah perkotaan. Sejak Januari sampai November 2020, pemerintah Sabah telah menangkap setidaknya 12,800 migrant tak berdokumen. Angka ini lebih sedikit dari jumlah tahanan imigrasi yang berhasil dideportasi sepanjang tahun 2020, sejumlah 7,673.[1] Tingginya jumlah penangkapan dibanding jumlah deportasi menjadi salah satu penyebab berbagai pusat tahanan menjadi semakin penuh sesak.
Lalu apakah kasus penyebaran Covid-19 di Sabah menurun? Jawabannya adalah tidak.
Pasca Pemilu 2020, Sabah bahkan menjadi episenter dari gelombang ketiga Covid-19. Berbagai kerumunan kampanye dan lalu lintas manusia di perbatasan melalui berbagai jalur tikus dianggap terkait dengan kemunculan gelombang ketiga.[2] Kasus penularan Covid-19 terus meningkat sampai pers rilis ini ditulis.
Kenaikan kasus Covid-19 direspon setidaknya dengan tigal hal. Pertama, memperketat berbagai kebijakan pembatasan pergerakan atau biasa disebut Perintah Kawalan Pergerakan (PKP) dan PKP Darurat yang beberapa kali mengalami perpanjangan. Kedua, menggencarkan berbagai operasi di 37 titik perbatasan untuk mencegah keluar-masuk migran.[3] Ketiga, melalui berbagai operasi penangkapan buruh migran tak berdokumen dalam skala besar di berbagai lokasi.
Hamzah Zainudin, Menteri Dalam Negeri Malaysia, dalam pidatonya di depan Dewan Rakyat pada Agustus tahun lalu, mengatakan akan membuat operasi besar-besar untuk menangkap imigran tak berdokumen. Hamzah juga mengancam agar migran tanpa dokumen segera meninggalkan Sabah sebelum otoritas terkait memburu mereka. Dia juga mengatakan tidak akan mengeluarkan dokumen baru bagi migran tak berdokumen yang ada di Sabah.[4] Pada Juni 2021, Hamzah bahkan mengatakan bahwa operasi penangkapan dalam skala besar merupakan langkah yang diperlukan untuk memastikan agar migran bisa mendapatkan vaksinasi. Dia mengatakan: “If they are not detained, will they go out to get vaccinated? That is why they are detained.” (jika mereka tidak ditahan, apakah mereka akan keluar untuk melakukan vaksinasi? Itulah sebabnya mereka ditahan).[5]
Sejak tahun lalu sampai pernyataan pers ini ditulis, berbagai operasi penangkapan berskala besar terus berlangsung di berbagai lokasi. Beberapa contoh terkini adalah operasi penangkapan di Kota Kinabalu pada 26 Januari 2021 yang menangkap 98 migran tak berdokumen.[6] Kemudian di Tawau, 2 Maret 2021 ada 75 migran tanpa dokumen yang ditangkap.[7] Operasi penangkapan di Sandakan pada 11 April 2021 menangkap lebih 117 migran tak berdokumen.[8] Pada bulan April 2021 juga 73 migran tak berdokumen yang mencoba masuk melalui perbatasan di Sandakan ditangkap oleh pihak kepolisian. Juli 2021, 65 migran tak berdokumen (22 diantaranya adalah anak-anak) ditangkap di 10 lokasi berbeda di wilayah Kundasang.[9] Terakhir kami mendapat kabar mengenai dua operasi penangkapan di dua lokasi berbeda di Tawau yang dilakukan pada 4 dan 5 Agustus tahun ini. Dalam operasi ini JIM Sabah menangkap 155 migran tak berdokumen, 39 diantaranya adalah anak-anak.[10] Video mengenai operasi penangkapan yang dipimpin oleh JIM Sabah ini juga menyebar luas melalui pesan Whatsapp ke banyak pekerja migran di Sabah.
Dengan menangkap ribuan migran tak berdokumen lalu melempar mereka ke pusat tahanan imigrasi, apakah kasus Covid-19 di Sabah berkurang? Sekali lagi jawabannya adalah tidak.
Pada 12 Agustus 2021, kasus harian Covid-19 di Sabah mencapai 2052, rekor kasus tertinggi sejak awal pandemi. Selain itu jumlah kasus penularan di berbagai pusat tahanan di Sabah terus terjadi. Pada 6 November 2020, dari 1119 kasus harian, 564-nya berasal dari pusat tahanan. Itu artinya, pada hari itu lebih dari setengah kasus Covid-19 di Sabah terjadi di pusat tahanan.[11] Pusat tahanan yang penuh sesak menjadi sarang bagi terjadinya transmisi lokal. Menurut data yang kami kompilasi dari https://newslab.malaysiakini.com/covid-19/en, per-10 Agustus 2021, terdapat 14 kluster pusat tahanan di Sabah, yang meliputi pusat tahanan sementara imigrasi, pusat tahanan sementara di perbatasan dan penjara. Dari ke-14 kluster tersebut, terdapat 6518 kasus penularan Covid-19, 1431 diantaranya masih dalam perawatan.
Selain itu, berbagai operasi penangkapan, secara khusus pasca-dua operasi besar bulan ini, telah membuat ribuan buruh migran terutama di wilayah sepanjang Merotai sampai Kalabakan ketakutan. Video dan kabar ditangkapnya 155 migran tak berdokumen di Tawau dan Merotai pada 4 dan 5 Agustus 2021 menyebar cepat dan membuat ribuan buruh perkebunan sawit termasuk anak-anak mereka di sekitar daerah tersebut memilih untuk bertapo (bersembunyi) di dalam hutan sawit ketika malam tiba, dan kembali bekerja di pagi hari.
Untuk mendapatkan gambaran situasi lapangan paska dua operasi penangkapan besar awal Agustus 2021, Koalisi melakukan wawancara singkat melalui telpon dengan 11 buruh migran perkebunan sawit, lima diantaranya adalah buruh perempuan. Atas alasan keselamatan, nama kesebelas narasumber tersebut kami samarkan, begitupun dengan lokasi dan nama perkebunan yang kami rahasiakan. Bagi kami kesaksian, suara dan harapan mereka dapat mewakili kondisi yang dihadapi oleh ribuan buruh migran yang saat ini hidup diantara razia dan pandemi.
Berdasarkan wawancara melalui telpon tersebut setidaknya ada tiga persoalan yang diungkapkan oleh sebelas buruh migran sawit tak berdokumen di Sabah. Pertama adalah tidak berlakunya ijin kerja mereka karena gagal diperbaharui, sehingga status mereka saat ini adalah tidak memiliki dokumen; kedua, mereka harus bersembunyi dari razia supaya tidak tertangkap; ketiga, mereka tidak bisa bekerja karena beberapa perkebunan sawit berhenti beroperasi.
Pertama, mayoritas buruh migran perkebunan sawit saat ini tidak memiliki dokumen. Karena berbagai hal, mereka yang awalnya memiliki dokumen sekalipun, saat ini dalam keadaan melanggar aturan ijin tinggal dan ijin kerja (overstay) dan otomatis menjadi tidak berdokumen (undocumented) dan dianggap sebagai pelanggar aturan keimigrasian. Hal ini diduga karena mayoritas perusahaan dan agen yang ditunjuk telah gagal memperbaharui ijin kerja mereka (permit kerja).[12] Menurut keterangan yang diberikan pekerja, penyebab perusahaan maupun agen yang ditunjuk gagal memperbaharui ijin kerja mereka adalah karena kantor-kantor imigrasi seringkali tutup. Selain itu kami juga menduga jika pihak imigrasi memang tidak mengeluarkan ijin kerja baru selama masa Perintah Kawalan Pergerakan (PKP).
“Aturannya sudah sambung (permit kerja), itu hari sudah dikumpul kami punya nama, apa semua, mau berangkat pigi nyambung, nah lock itu hari tahun lalu itukan. Gak jadi sambung sampai sekarang.”
Zzz, buruh perkebunan sawit di Sabah
“Macam semuanya sudah tiada passport nih (yang dimaksud passport adalah permit kerja), semuanya hangus. Gara-gara tukar ejen kah itu. Semuanya tiada passport disini, semuanya berlarian disini. Kalau ada razia langsung lari, ada razia langsung lari. Kalau di rumah, Polis masuk kedapatan sudah, tidak bisa lari.”
Mmm
“Hampir semua tapo. Istri anak ikut tapo. Disini peratus ratus (100%) sudah tiada dokumen.”
Nnn
“Yang soal dokumen itu, bagaimana mau mengurus sekarang, kantor-kantor pun ditutup semua.”
JJJ
Hangusnya ijin kerja mereka akibat gagal diperbaharui, otomatis telah membuat status mereka menjadi overstay atau bekerja dan tinggal di Sabah melebihi aturan yang diperbolehkan. Dengan demikian mereka bisa ditangkap kapanpun oleh JIM Sabah karena dianggap telah melanggar aturan keimigrasian. Bagi mereka hal ini tidaklah fair, karena kesalahan bukan terletak di pekerja migran. Bukan mereka yang tidak mau memperbaharui ijin kerja. Tapi kenapa mereka yang harus diburu dan ditangkap?
Bagi mereka, jika persoalannya adalah dokumen, maka solusinya bukanlah penangkapan massal, tapi pembaharuan dan pembuatan dokumen. Jika memang pihak JIM Sabah menghendaki mereka memiliki dokumen, maka solusinya adalah JIM Sabah mendesak pihak perusahaan untuk membuatkan seluruh pekerja dan keluarganya dokumen yang sah. Bukannya melakukan razia. Mayoritas pekerja migran perkebunan sawit di Sabah tidak memiliki dokumen. Hal ini merupakan kenyataan umum. Mustahil pihak imigrasi tidak mengetahui hal ini.
“Bingung ini, serba salah ini. Kami datang ini ada passport, tapi passport mati disini (yang dimaksud passport adalah permit kerja), kenapa ditangkap juga kami. Kompeni (perusahaan) yang salah, kenapa dikasih mati passport kami. Tapi kenapa ditangkap juga kami.”
“Bingung ini, serba salah ini. Kami datang ini ada passport, tapi passport mati disini (yang dimaksud passport adalah permit kerja), kenapa ditangkap juga kami. Kompeni (perusahaan) yang salah, kenapa dikasih mati passport kami. Tapi kenapa ditangkap juga kami.”
Xxx, buruh migran perkebunan sawit di Sabah
“Tapi kalau kedapatan tidak ada passport, kompeni juga kena saman tuh (denda). Kenapa imigresen tidak bisa tahu kalau di kompeni ini tiada passportnya. Pasti dia tahu, kenapa dia tidak mau kasih denda langsung ke kompeni. Kenapa dia mau tangkap kita dulu. Coba dia langsung ke kompeninya, “kenapa orangmu tidak kau buatkan passport”. Tidak perlu dirazia-razia. Desak kompeni, buatkan dia orang passport, begitu caranya. Kenapa mau dirazia.”
Yyy, buruh migran perkebunan sawit di Sabah
“Kenapa solusinya ditangkap, bukan dibuatkan dokumen. Desak saja kompeninya, “buatkan pekerjamu passport, istri dan anaknya juga, semuanya lah. Kalau tidak, kena saman kau kompeni.” Mustahil juga jawatan imigresen tidak tahu kalau kompeni ini pekerjanya tiada punya passport. Mustahi! Masa imigresen tidak tahu.”
Yyy, buruh migran perkebunan sawit di Sabah
Kedua, bersembunyi dari kejaran razia. Sejak operasi penangkapan di Tawau dan Merotai pada 3 dan 4 Agustus 2021, ratusan hingga ribuan buruh migran perkebunan sawit di wilayah terdekat terpaksa bersembunyi di balik hutan sawit pada malam hari.
Pada awal Agustus tahun ini, pekerja migran di sebuah estate dekat Merotai diberitahu oleh manajer kebun mereka agar selesai bekerja segera pergi bertapo (bersembunyi). Hal ini karena pihak kebun mendapatkan informasi dari Kepolisian di daerah tersebut jika pihak imigrasi akan masuk ke kebun-kebun dalam waktu dekat. Sejak hari itu, jika malam tiba, Defry bersama keluarganya dan ratusan pekerja migran lainnya bersembunyi ke pondok-pondok mereka di dalam hutan sawit. Sebagian mulai berani tidak lagi bersembunyi sekitar satu minggu kemudian, walau sampai saat rilis ini ditulis sekalipun, masih banyak yang memilih untuk bersembunyi. Perempuan, orang tua, anak-anak, semuanya ikut bersembunyi. Tidur di pondok-pondok kayu sederhana di dalam hutan sawit. Seringkali pondok tersebut tidak memiliki dinding, dan hanya atap seadanya yang jika hujan turun maka mereka yang tidur di dalamnya akan kebasahan dan kedinginan. Mereka memilih untuk tidur di pondok-pondok di dalam hutan sawit dibandingkan tidur di rumah bedengan yang disediakan perusahaan. Karena jika mereka tidur di rumah bedengan, begitu petugas imigrasi datang dan mengepung, mereka tidak akan sempat berlari.
“Kami di anu, diberi kabar sama tuan-tuan yang manajer ladang sini kan. Suruh kami pigi bertapo. Karena bilang Polis daerah K, dia bagi tau manajer tuh, suruh orang disini bertapo, ada imigresen mau masuk. Jadi pigi bertapo saja.”
Defry, buruh migran perkebunan sawit di Sabah
“Dari awal bulan Ogos kita sudah mulai bertapo, kalau malam kita semua pigi ke pondok-pondok di dalam ladang sawit. Banyak nyamuk, semut api, sejuk pula. Banyak di pondok yang kena keroyok semut api. Kasian anak-anak kami. Hampir kami semua, bekisar 300 orang (dari satu estate saja, eds) tiada passport (yang dimaksud passport adalah permit kerja, eds). Takutnya dia orang (maksudnya adalah imigresen) masuk tiba-tiba. Sekejap saja dikepung depan belakang, kami takkan bisa lari tuh.”
Uuu, buruh migran perkebunan sawit di Sabah
“Yang bertapo tidak hanya ladang XX. Ladang XX saja sudah 300, belum lagi ladang-ladang lain. Aih ramai ini ramai. Tidak bisa dihitung ini. Ribuan sudah bertapo. Bukan ratusan, ribuan sudah. Ramai sudah di dalam ladang-ladang tuh kalau malam. Kami bertapo sampai habis bulan, masih lama. Biasanya sampai hari kemerdekaan dia orang tuh, baru dia orang break lagi. Sampai 31 Ogos.”
Uuu, buruh migran perkebunan sawit di Sabah
“Itulah, macam budak-budak itu balik tapo lalu batuk-pilek.”
MMM, buruh migran perkebunan sawit di Sabah
“Siksa betul kalau ada operasi. Kalau malam jam 7 ada polis operasi, jadi pergilah kami bertapo di kandang kambing, banyak nyamuk. Kasian kita bawalah itu anak-anak kami, kadang kita ganti-gantian tidur, ada yang berjaga. Subuh baru balek lagi jam 4.”
ZZ, buruh migran perkebunan sawit di Sabah.
Ketiga, buruh migran yang bekerja di perkebunan yang terdapat kasus transmisi lokal terpaksa harus berhenti bekerja, karena kebun tempat mereka bekerja harus berhenti beroperasi untuk sementara. Perkebunan seperti ini biasanya akan dijaga ketat oleh pihak Kepolisian dan pekerja yang tinggal di dalam dilarang keluar dari rumah bahkan selama hampir satu bulan. Sementara mereka belum mendapatkan kejelasan apakah selama dirumahkan mereka akan tetap mendapatkan gaji atau tidak. Mereka juga mengaku belum mendapatkan bantuan apapun baik dari perusahaan maupun pemerintah setempat.
“Kami disuruh tinggal saja di dalam rumah, tidak boleh keluar dari pintu. Dijaga polis. Jadi tinggal saja di rumah satu bulan tidak kerja, tidak jelaspun akan digaji ada atau tiada karena kita tidak kerja. Tidak ada juga kami dibantu apa-apa seperti makan. Sementara polis meraung sama kami disuruh pamping (push up) kalau didapati keluar dari pintu rumah.”
AM, buruh sawit Sabah.
“Wah kita disini betul-betul serba susah, semua di ladang YY (nama ladang dirahasiakan) banyak yang terjangkit covid. Ada sudah banyak yang dikirim ke Bukit Garam karantin. Kita ditahan untuk tidak boleh keluar rumah. Kita sekarang tidak kerja, tempat kerja ditutup. Belum jelas kita akan ada gaji atau tidak. Susah mau makan. Kita baru bisa makan kalau kita keluar rumah. Kita stress sudah ini. Sebab keluarpun cari makan bagaimana, keluar dari pintu rumah saja ada polis yang jaga. Kita didenda satu ribu lima ratus ringgrit kalau didapat keluar rumah. Kalau tidak bisa bayar dibawa pergi mahkamah baru dijatuhi hukuman.”
VA, buruh sawit Sabah.
Berbeda dengan otoritas Sabah yang melihat razia sebagai salah satu respon yang diperlukan untuk menekan jumlah penularan Covid-19. Koalisi Buruh Migran Berdaulat melihat razia sebagai respon yang justru bertentangan dengan upaya untuk menekan jumlah penularan Covid-19. Semakin banyak razia hanya akan menciptakan lebih banyak kluster pusat tahanan, seperti yang kita saksikan berulang kali terjadi di Sabah.
Kami Koalisi Buruh Migran Berdaulat menuntut agar otoritas Sabah segera menghentikan segala bentuk operasi penangkapan kepada migran tak berdokumen. Hanya dengan menghentikan segala bentuk operasi penangkapan inilah migran akan merasa aman dan tidak perlu bersembunyi dari otoritas. Dengan demikian upaya-upaya untuk mencegah penyebaran virus Covid-19, termasuk melalui vaksinasi kepada populasi yang hidup di Sabah menjadi lebih mudah dilakukan. Seperti yang disampaikan oleh dua orang buruh migran perempuan di bawah ini,
“Kalau kita mau divaksin sama majikan disini kami turuti, tapi belum ada. Biasanya yang divaksin yang punya dokumen saja. Saya dengar yang tidak ada dokumennya tidak divaksin. Nah susahlah kita ini perempuan, karena rata-rata kami tiada dokumen atau dokumen ada yang sudah mati juga.”
Nnn, buruh migran perempuan perkebunan sawit di Sabah
“Kita disini takut juga divaksin. Bukan apa kita tiada dokumen, nanti kita diambil sebab ini negara orang. Sikit-sikit polis, sikit-sikit polis.”
Nnn, buruh migran perempuan perkebunan sawit di Sabah
Berbagai operasi penangkapan hanya menciptakan ketakutan, hal ini justru membuat upaya pencegahan penyebaran virus menjadi semakin rumit. Sementara itu upaya untuk mengatasi meningkatnya jumlah migran tak berdokumen harus dilakukan dengan memperbaiki sistem dan hukum imigrasi di Sabah, bukan dengan menangkapi mereka yang tidak memiliki dokumen.
Mereka adalah buruh migran yang bekerja bertahun-tahun di Sabah dan telah memiliki kontribusi yang tidak lagi bisa dihitung. Di saat sulit seperti ini, seharusnya mereka juga mendapatkan bantuan, perlindungan dan layanan kesehatan yang sama seperti halnya warga negara Sabah, dan bukannya menjadi target penangkapan. Mereka bekerja untuk Sabah, seperti yang disampaikan oleh YYY di bawah ini,
“Sabah itu gak ada uang kalau gak ada sawit. Gak ada sawit kalau gak ada kami ini. Orang tempatan mana mau kerja begini. Ada itu dalam undang-undang mereka itu, mereka sebut kami PATI. Padahal kami kerja untuk mereka.”
Kami Koalisi Buruh Migran Berdaulat menuntut Otoritas Sabah agar segera:
- Menghentikan segala bentuk operasi penangkapan terhadap migran yang tidak berdokumen, termasuk anak anak, perempuan dan orang tua;
- Mempercepat dan memperluas pelaksanaan vaksinasi bagi migran tanpa syarat administrasi dan dokumen keimigrasian;
- Mempercepat dan menyederhanakan proses administrasi deportasi untuk menghindari penahanan berkepanjangan sehingga pusat tahanan sementara bagi para migran di Sabah tidak semakin penuh sesak;
- Menyediakan layanan keimigrasian yang lebih mudah diakses, cepat, murah dan aman bagi buruh migran;
- Menjalankan program pengampunan bagi buruh migran tak berdokumen, termasuk mengadopsi program kalibrasi federal (federal recalibration programme);
- Mengutamakan tanggung jawab penghormatan, pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi buruh migran, termasuk hak atas kesehatan, dibanding pendekatan represi.
Tentang Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB):
Koalisi Buruh Migran Berdaulat adalah gerakan masyarakat sipil yang peduli dengan isu pemenuhan dan perlindungan hak-hak buruh migran Indonesia. Koalisi ini awalnya dibentuk sebagai respon atas berbagai kondisi yang dihadapi buruh migran Indonesia dalam situasi Pandemi COVID-19.
Catatan:
[1] YB Datuk Seri Ismail Sabir Yaakob (2020). Media Assembly Talking Points Memo. 14 Oktober 2020.
[2] Andrew M. Carruthers, ISEAS, 27 November 2020
[3] https://www.bernama.com/bm/am/news_covid-19.php?id=1851153 (diakses 16 Agustus 2021)
[4] https://www.malaysiakini.com/news/537353 (diakses 16 Agustus 2021), https://www.bharian.com.my/berita/nasional/2020/08/717959/segera-tinggalkan-sabah-jika-tiada-dokumen-sah (diakses 16 Agustus 2021)
[5]https://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2021/06/03/detention-of-illegals-to-ensure-they-have-documents-says-hamzah/?__cf_chl_jschl_tk__=pmd_bfe46792cb0f7a6b6262aead297a26ff72f0c75a-1629133029-0-gqNtZGzNAo2jcnBszQzi (diakses 16 Agustus 2021)
[6] https://beritasabah.com/98-pati-ditangkap-dalam-operasi-bersepadu/ (diakses pada 16 Agustus 2021)
[7] https://www.astroawani.com/berita-malaysia/75-pati-ditahan-di-kawasan-penempatan-setinggan-di-tawau-285542 (diakses 16 Agustus 2021)
[8] https://www.utusan.com.my/terkini/2021/04/imigresen-sabah-tahan-117-pendatang-asing-tanpa-izin/ (diakses 16 Agustus 2021)
[9]https://www.hmetro.com.my/mutakhir/2021/07/731584/jim-sabah-tahan-65-pati (diakses 16 Agustus 2021) https://www.borneotoday.net/kanak-kanak-setahun-antara-65-pati-ditahan-di-ranau/ (diakses 16 Agustus 2021)
[10] Lihat pernyataan pers Jawatan Imigresen Malaysia (JIM) Sabah, 6 Agustus 2021
[11] https://www.astroawani.com/berita-malaysia/covid19-cases-spike-to-1755-more-than-11000-active-cases-267188 (diakses 16 Agustus 2021)
[12] Menurut Peraturan Imigresen Tahun 1963, seksyen 7, subseksyen 2, ijin kerja buruh migran perkebunan sawit hanya berlaku satu tahun, dan harus diperbaharui (renewal) setiap satu tahun sekali. Dan dapat diperbaharui selama lima kali (artinya dapat diperbaharui selama lima tahun). Setelah itu mereka harus keluar dari Sabah sebelum mengajukan ijin kerja baru yang berlaku satu tahun, dan bisa diperbaharui lima tahun kemudian. Setelah itu, mereka tak lagi diperbolehkan mendapat ijin kerja.