Preloader
  • 082120171321
  • Jl. Kalijati Indah Barat No. 8, Antapani Bandung 40291
  • Senin-Kamis: 10.00-15.00 WIB

Menyoal Somasi Terhadap ICW: Pemberangusan Demokrasi dan Upaya Kriminalisasi

Praktik pembungkaman atas kritik masyarakat kembali terjadi. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, melayangkan somasi kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dengan penelitian tentang polemik Ivermectin. Somasi tersebut berisi niat Moeldoko untuk menempuh jalur hukum dengan melaporkan ICW ke pihak berwajib. Tentu langkah ini amat disayangkan, sebab, semakin memperlihatkan resistensi seorang pejabat publik dalam menerima kritik. Penting ditekankan, ICW sebgai bagian dari masyarakat sipil sedang menjalankan tugasnya dalam fungsi pengawasan terhadap jalannya proses pemerintahan. Hal yang mana sangat lazim dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil lainnya sebagai bentuk partisipasi untuk memastikan adanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terlebih lagi, ICW menuangkan pendapatnya dalam sebuah penelitian yang didasarkan atas kajian ilmiah dengan didukung data dan fakta. Sehingga, tidak salah jika dikatakan bahwa langkah Moeldoko, baik somasi maupun niat untuk memproses hukum lanjutan, merupakan tindakan yang kurang tepat dan berlebihan. Sebagaimana diketahui, Indonesia saat ini sedang dilanda pandemi Covid-19 yang telah merenggut nyawa puluhan ribu masyarakat dan meruntuhkan perekonomian negara. Berangkat dari hal itu, semestinya pemerintah membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberikan masukan dalam proses penanganan Covid-19 ini. Namun, alih-alih dilaksanakan, Moeldoko selaku bagian dari pemerintahan justru menutup celah tersebut dengan mengedepankan langkah hukum ketika merespon kritik dari ICW. Padahal, penelitian ICW masih bertalian dengan konteks terkini, yaitu upaya pencegahan korupsi di sektor farmasi. Menyikapi langkah Moeldoko, setidaknya ada dua isu yang tampak oleh masyarakat. Pertama, upaya pemberangusan nilai demokrasi. Patut dipahami, peraturan perundang-undangan telah menjamin hak setiap masyarakat atau organisasi untuk menyatakan pendapat. Mulai dari Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 jo Pasal 25 jo Pasal 44 UU Hak Asasi Manusia, Pasal 8 ayat (1) UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 41 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, jaminan tersebut juga dituangkan dalam berbagai kesepakatan internasional, diantaranya: Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN. Menyikapi langkah Moeldoko, setidaknya ada dua isu yang tampak oleh masyarakat. Pertama, upaya pemberangusan nilai demokrasi. Patut dipahami, peraturan perundang-undangan telah menjamin hak setiap masyarakat atau organisasi untuk menyatakan pendapat. Mulai dari Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 jo Pasal 25 jo Pasal 44 UU Hak Asasi Manusia, Pasal 8 ayat (1) UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 41 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, jaminan tersebut juga dituangkan dalam berbagai kesepakatan internasional, diantaranya: Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN. Terlepas dari rangkaian pengabaian regulasi terkait hak menyatakan pendapat, langkah Moeldoko ini pun berpotensi besar menurunkan nilai demokrasi di Indonesia. Awal Februari lalu, The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, Indonesia mendapatkan rapor merah karena adanya penurunan skor yang cukup signifikan. Maka dari itu, praktik pembatasan hak berpendapat, terlebih kritik dari masyarakat perlu untuk dihentikan. Kedua, melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap organisasi masyarakat sipil. Merujuk data SAFENet, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik banyak menyasar masyarakat dari berbagai kalangan, misalnya: aktivis, jurnalis, hingga akademisi. Mirisnya, mayoritas pelapor justru pejabat publik. Ini menandakan belum ada kesadaran penuh dari para pejabat dan elit untuk membendung aktivitas kriminalisasi tersebut, guna mendorong terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia. Selanjutnya, dari aspek hukum, mengacu pada pemberitaan media, terdapat konstruksi yang keliru dalam memaknai aspek pelanggaran hukum dari penelitian ICW tersebut. Jika dimaknai sebagai delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik jo KUHP, maka penting untuk dijelaskan lebih lanjut. KUHP pada dasarnya memuat tentang alasan pembenar yang relevan ketika dikaitkan dengan penelitian ICW, yakni Pasal 310 ayat (3) KUHP: tidak merupakan pencemaran, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum. Sebab, ICW memaparkan temuan dalam konteks kepentingan pemerintah untuk mencegah adanya praktik rente dan conflict of interest (CoI) di tengah situasi kritis akibat pandemi Covid-19, hal yang jelas berhubungan dengan kepentingan publik. Permasalahan lain juga tampak ketika yang digunakan adalah UU ITE. Hal ini dikarenakan adanya Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam dokumen tersebut, tepatnya bagian Pasal 27 ayat (3) bagian c disampaikan bahwa bukan delik pencemaran nama baik jika muatannya berupa penilaian atau hasil evaluasi. Pernyataan yang dikeluarkan ICW lahir dari sebuah penelitian yang memiliki metode, data dan referensi yang jelas, tentu ini telah memenuhi ketentuan tersebut karena telah melewati proses penilaian dan evaluasi atas suatu isu yang menjadi perhatian masyarakat.[/vc_column_text][vc_column_text]Sebenarnya, tanpa mesti menempuh jalur hukum, Moeldoko dapat menyampaikan bantahan atas temuan ICW dengan menggunakan hak jawab sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pers. Sebab, hasil penelitian ICW tersebut diketahui khalayak ramai oleh karena dimuat dalam berbagai pemberitaan media. Dalam negara demokrasi, mekasnisme ini lah yang harusnya didorong dan ditempuh, bukan dengan ancaman pidana. Berkenaan dengan poin-poin di atas, maka Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar:

 

  1. Moeldoko untuk menghormati proses demokrasi yaitu kritik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ICW dan lebih berfokus pada klarifikasi pada temuan-temuan dari penelitian tersebut;]
  2. Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan mencabut somasi dan mengurungkan niat untuk melanjutkan proses hukum terhadap ICW;
  3. Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum agar tetap pada komitmen untuk menjaga demokrasi di Indonesia dengan mengimplementasikan hukum dan kebijakan yang sudah dibuat untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk pemberangusan; Koalisi Masyarakat Sipil.
  4. YLBHI
  5. PBHI
  6. Auriga Nusantara
  7. ICJR
  8. PSHK
  9. ELSAM
  10. ICEL
  11. IJRS
  12. IMPARSIAL
  13. KontraS
  14. Yayasan Perlindungan Insani Indonesia
  15. P2D
  16. Yayasan Kurawal
  17. Koalisi Warga untuk Lapor VID19-19
  18. Greenpeace Indonesia
  19. Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) Indonesia
  20. Serikat Mahasiswa Progresif UI
  21. BEM STHI Jentera
  22. Enter Nusantara
  23. Bangsa Mahasiswa
  24. Garda Tipikor FH UNHAS
  25. Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) FH Unmul
  26. Constitutional and Administrative Law Society (CALS)
  27. BEM KM Universitas YARSI
  28. WALHI
  29. BEM FH UPNVJ
  30. BEM REMA UPNVJT
  31. BEM UI
  32. BEM FISIP UNMUL
  33. KIKA
  34. Aliansi BEM Seluruh Indonesia
  35. BEM se-Semarang Raya
  36. BEM KM UNNES
  37. LBH MAKASSAR
  38. LeIP
  39. SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network)
  40. PAKU ITE (Paguyuban Korban UU ITE)
  41. Aliansi BEM Univ. Brawijaya
  42. PARAMADINA PUBLIC POLICY INSTITUTE (PPPI)
  43. LBH Pers
  44. BEM Universitas Siliwangi
  45. LBH Padang
  46. LBH Masyarakat
  47. Visi Integritas Law Firm
  48. LBH PP Muhammadiyah
  49. AURIGA
  50. Forum Pengada Layanan (FPL)
  51. BEM UPNVJ
  52. TRUTH
  53. IKA SAKTI Tangerang
  54. Puspaham SULTRA
  55. Human Rights Working Group (HRWG)
  56. PWYP Indonesia
  57. LBH Bandung
  58. Trend Asia
  59. JATAM Kaltim
  60. LBH Semarang
  61. Sajogyo Institute
  62. JATAM
  63. GRASI Riau
  64. LBH Pekanbaru
  65. BEM Undip
  66. BEM FISIP Undip
  67. BEM FKM Undip
  68. BEM FH Undip
  69. BEM FPP Undip
  70. BEM FSM Undip
  71. BEM FK Undip
  72. BEM FPIK Undip
  73. BEM SV Undip
  74. BEM Psikologi Undip
  75. BEM FT Undip
  76. BEM FIB Undip
  77. LBH Samarinda
  78. LBH Yogyakarta
  79. LBH Surabaya
  80. Transparency International Indonesia
  81. Gerakan Berantas Korupsi (Gebrak)
  82. Banten Bersih
  83. LBH Palembang
  84. Brebes Youth Center (BYC)
  85. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
  86. LBH APIK NTT
  87. BEM KM UDINUS Semarang
  88. BEM PM Universitas Udayana
  89. KOPEL Indonesia
  90. Komite Independen Sadar Pemilu (KISP)
  91. NET Attorney
  92. LBH Palangka Raya
  93. POKJA 30 KALTIM
  94. Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)
  95. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH. Univ. Andalas
  96. GEMAWAN
  97. PATTIRO Semarang
  98. FOINI
  99. KPA SULTRA
  100. FORSDA KOLAKA
  101. DEMA IAIN Palangka Raya
  102. Aliansi Rakyat Bergerak
  103. KRPK Blitar
  104. MCW Malang
  105. SAHDAR Medan
  106. MATA Aceh
  107. Koalisi Bersihkan Indonesia
  108. Bengkel AppeK
  109. BEM ULM
  110. Indonesia Budget Center (IBC)
  111. FITRA Provinsi Riau
  112. SOMASI NTB