Tidak Ada Kemerdekaan Sampai Semua Orang Bebas Dari Ancaman Kekerasan Seksual

Oleh: Maulida Zahra, Asisten Pembela Umum LBH Bandung

Prolog

Dua hari menjelang hari kemerdekaan Indonesia publik kembali disuguhkan dengan pemberitaann mengenai praktik pelecehan seksual yang kembali menimpa santriwati oleh seorang ustad yang belakangan diketahui juga merupakan anak dari seorang Kyai di sebuah pondok pasantren di kabupaten Bandung.

Pelaku selain memanfaatkan kedudukannya di pesantren ia juga memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya untuk melakukan pelecehan. Ia membuka tempat pijat karena katanya pelaku ini memiliki hikmah untuk mengobati orang lain dengan cara dipijat. Korbannya tidak hanya satu melainkan 20 orang dan mayoritas korban dilecehkan pada saat mereka masih berada dibawah.

Dalam perspektif hukum pelaku tidak hanya melecehkan namun merampas hak seseorang untuk merasa aman dan mendapatkan pendidikan, sejatinya hak anak juga merupakan hak asasi manusia sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (12) UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Kemudian, Tindakan tersebut tentu melanggar Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu karena pelaku melakukan Tindakan tersebut pada anak-anak dibawah umur maka pelaku bisa dijerat pasal 76E jo Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Tambahan jika pelaku melakukan pencabulan atau pelecehan setelah UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan maka pelaku juga dapat dijerat pasal 4 ayat (2) jo Pasal 6 huruf C, bahwa pelaku telah menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang muncul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan pencabulan. Dalam UU TPKS ini berlaku asas berlaku surut sehingga UU TPKS ini bisa digunakan jika kejadian terjadi setelah UU TPKS ini disahkan. Jika sebaliknya maka polisi perlu lebih banyak menggunakan otaknya untuk bekerja.

Keberulangan dan Impunitas

Kekerasan terhadap perempuan melalui tindakan pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi dilingkungan Pendidikan, khususnya pondok pasantren terjadi berulang. Data KPAI misalnya, menunjukan dalam rentan Januari-Juli 2022 saja ada 12 persitiwa pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi dan 8 diantaranya terjadi di pondok pasantren dan lingkungan kegiatan peribadahan. Lebih lanjut ada 52 anak dibawah umur menjadi korban dan 15 orang pelaku, 12 diantaranya adalah gurunya sendiri, sisanya adalah pemilik pasantren, anak dari pemilik pasantren dan kakak kelas dari para korban.[1]

Dalam konteks pondok pasantren, modus berulang yang dilakukan adalah mengingatkan para korban untuk menerima Tindakan pelaku melalui dalil agama seperti murid harus menuruti perkataan gurunya jika tidak ilmunya tidak berkah.

Relasi kuasa yang timpang diantara guru dan murid serta pendisiplinan melalui dogma agama memiliki andil besar dalam peristiwa ini. Mari tinggalkan Kabupaten Bandung Barat dan beralih sebentar pada Paus Fransiskus ketika menerima kunjungan dari The International Catholic Child Bureau pada 2014 lalu. Dengan besar hati pemimpin agama tersebut mengakui bahwa memang telah terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pastor dan kemudian sang Paus pun meminta maaf.[2]

Namun permasalahan dalam kekerasan terhadap perempuan bukan persoalan moralitas semata, problem tersebut jauh lebih kompleks, struktural dan Patriarki adalah pondasi dari permasalahan tersebut.

Patriarki dan Kapitalisme

Patriarki banyak terpengaruh oleh cara kerja produksi ekonomi yang menindas bernama kapitalisme. Ketimpangan kekuasaan untuk mengontrol surplus nilai lebih dalam corak produksi diantara buruh dan pemilik modal banyak terpengaruhi oleh cara patriarki bekerja. Corak produksi ekonomi yang demikian juga mempengaruhi cara kerja patriarki menundukan gender lain diluar laki-laki melalui pembagian peran dalam masyarakat.

Christine Vanden Daelen dan Camille Bruneau berargumen Kapitalisme dan patriarki merupakan bagian tak terpisahkan, kapitalisme membangun relasi sosial yang memfasilitasi praktik eksploitasi perempuan dan patriarki menyediakan justifikasi terhadap eksploitasi tersebut.[3]

Salah satu varian dari praktik tersebut adalah kekerasan terhadap perempuan melalui pelecehan dan kekerasan seksual. Lantas bagaimana dunia pendidikan berkontribusi pada kekerasan terhadap perempuan yang marak dilakukan oleh industri pendidikan keagamaan belakang hari?

Produsen Ketimpangan Relasi Kuasa

Untuk menjawab pertanyaan sebelumnya ternyata jawabanya tidak sesederhana dan tunggal, saya ingin mengajak kita semua untuk memeriksa mengapa relasi kuasa yang timpang tersebut muncul di lingkungan pendidikan dengan memeriksa bagaimana peran institusi pendidikan seperti sekolah dalam masyarakat kapitalis.

Pertama, kita berada dalam formasi sosial yang dibangun oleh sistem ekonomi kapitalis. Kedua, seperti yang diketahui banyak orang, sistem ekonomi kapitalis beroperasi melalui ekspansi terus menerus dari nilai lebih yang diproduksi oleh buruh, nilai lebih tersebut berasal dari pencurian upah atas waktu produksi yang tidak dibayar oleh kapitalis. Oleh karena itu buruh diperlukan untuk tetap ada dan memproduksi nilai lebih melalui kerja, sehingga proses ekspansi kapital bisa terus terjadi.[4] Ketiga, sebagai syarat untuk menghadirkan buruh maka diciptakanlah proses proletarisasi dan reproduksi buruh-buruh baru yang berasal dari anak-anak yang dilahirkan oleh buruh. Keempat untuk mendisplinkan buruh, kapitalis membutuhkan bantuan dari negara untuk melakukan hal tersebut secara fisik dan pikiran.

Kemudian disinilah pemeriksan kita tentang sekolah dimulai. Pada dasarnya institusi pendidikan dibutuhkan untuk melakukan kerja-kerja pendisiplinan pikiran.[5] Sementara kerja-kerja pendisiplinan secara fisik bisa dilakukan oleh institusi lain misalnya polisi, tentara. Sementara pendisiplinan secara pikiran dan ahlak dilakukan oleh institusi seperti keagamaan, pendidikan, Hukum dan politik.[6]

Sedari kecil kita diajarkan disekolah untuk menghormati negara, sang saka merah, putih, guru, orang tua dan Luhut Binsar Panjaitan. Sedari awal institusi pendidikan dibuat bukan untuk menemukan jawaban atas makna menjadi manusia yang merdeka tapi untuk menghormati jika bukan untuk tunduk pada wakil dari otoritas yang mewujud pada benda, karakter dan sosok yang diawal saya sebutkan.

Akhirnya kita bisa menemukan bagaimana peran institusi pendidikan dan mengapa ketimpangan relasi dalam institusi tersebut muncul. Ketimpangan yang sama digunakan oleh ustad-ustad bejat mengeksploitasi tubuh dan pikiran yang disiplinkan norma sosial bernama patriarki.

Epilog

Meningkatnya keberanian para korban untuk menceritakan dan melaporkan pelecehan yang mereka alami serta melalui desakan dari semua orang-orang waras untuk melawan kekerasan seksual dalam lingkup pendidikan maka terbitlah sebuah peraturan kementrian pendidikan untuk pembuatan gugus tugas pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan bernama Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Poin dari peraturan yang judulnya panjang itu adalah sejak kementrian tersebut tidak bisa melakukan apa-apa maka perguruan tinggi diminta untuk membuat gugus tugas di masing-masing tempat. Berjalan atau tidaknya adalah urusan lain dan komposisinya ideal atau ideal juga itu urusan lain.

Dibelantara lain melalui perjuangan panjang kelompok masyarakat sipil berhasil memasukan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi produk hukum yang sah. Produk hukum ini sangat progresif ketimbang beberapa produk hukum lain yang lahir dalam rentan waktu 2020-2022 seperti Omnibuslaw, UU Cipta Kerja dan UU Minerba.

Sehingga kini upaya perlindungan dan pengentasan kekerasan seksual sepenuhnya bergantung pada kemampuan nalar personil Kepolisian Republik Indonesia dalam menafsirkan Tindakan kekerasan seksual yang kompleks dan kerap terjadi di ranah-ranah yang sangat privat.

Kini dalam hiruk-pikik nuansa kemerdekaan Republik Indonesia  tentu berat rasanya bagi saya untuk hanyut dalam suka cita mengingat praktik bejat ini masih terus terjadi. Sejatinya tidak ada kemerdekaan sampai seluruh orang di dunia bebas dari ancaman kekerasan seksual.

Catatan

[1] Untuk data-data lebih lengkap bisa dilihat disni: https://www.nttmediaexpress.com/humaniora/pr-4243960346/kpai-merilis-data-kekerasan-seksual-anak-rentan-terjadi-di-sekolah-semester-pertama-2022

[2] Lihat berita selengkapnya di: https://tajuk.co/news/paus-fransiskus-minta-maaf-atas-pelecehan-seksual-anak-oleh-pastur

[3] Untuk Analisa lebih lanjut lihat: https://www.cadtm.org/Capitalism-and-Patriarchy-Two-Systems-that-Feed-off-Each-Other

[4] Tentang bagaimana kapitalisme terus berekspansi dan mendorong terjadinya proses urbanisasi yang berujung pada penggusuran paksa lihat: https://newleftreview.org/issues/ii53/articles/david-harvey-the-right-to-the-city

[5] Konsep tersebut berasal dari Louis Althusser, lihat selengkapnya dalam Louis Althusser, Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara, IndoPROGRESS, 2015.

[6] Ibid. hal 24-25

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.