SIARAN PERS DISEMINASI RISET ‘TRANSISI ENERGI BERKEADILAN DI JAWA BARAT: STUDI KASUS PLTU CIREBON 1’
[vc_row][vc_column][vc_column_text]PEMENSIUNAN DINI PLTU CIREBON 1 HARUS DILAKUKAN SECARA BERKEADILAN
Jakarta, 16 Agustus 2024 – Pada tahun 2022, Indonesia menyepakati kerja sama transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM), salah satunya menargetkan pemensiunan dini PLTU Cirebon I di tahun 2035. Namun, pemensiunan dini PLTU Cirebon I yang seharusnya dilaksanakan secara partisipatif dan berkeadilan ternyata belum sepenuhnya terealisasi. Temuan ini terkonfirmasi dalam riset kolaboratif yang dilakukan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), LBH Bandung, dan SALAM Institute, dalam acara Diseminasi Riset ‘Transisi Energi Berkeadilan di Jawa Barat: Studi Kasus PLTU Cirebon 1.
Riset ini menunjukkan bahwa landasan hukum dan kebijakan terkait pemensiunan dini PLTU belum mempertimbangkan aspek keadilan dalam transisi energi sehingga menghambat pemenuhan hak-hak masyarakat dan pekerja. Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL, Syaharani, menekankan bahwa proses pemensiunan dini PLTU Cirebon I juga tidak dilaksanakan dengan partisipasi yang memadai, padahal kerangka JETP mewajibkan adanya pelibatan pemangku kepentingan secara inklusif di setiap proyek JETP. Temuan riset kolaboratif ini menunjukkan bahwa dialog pemensiunan dini PLTU Cirebon I dilakukan hanya kepada sebagian masyarakat di sekitar PLTU dan dilakukan dalam Bahasa Inggris sehingga tidak dapat dipahami oleh masyarakat sekitar. Akibatnya, dialog tersebut minim partisipasi.
Lebih lanjut, ICEL berpandangan bahwa pemulihan dampak historis operasi PLTU Cirebon I harus menjadi bagian inti dari proses pemensiunan PLTU. “Secara faktual, Amdal PLTU Cirebon I tidak melakukan analisis pasca operasi. Dengan adanya rencana pemensiunan PLTU Cirebon I, sesuai dengan PermenLHK No. 16 tahun 2018 seharusnya ada perubahan izin lingkungan dengan pengajuan Amdal baru. Proses Amdal baru ini harus melakukan asesmen lingkungan, sosial, dan budaya untuk memastikan pemulihan dilakukan serta harus melibatkan masyarakat di sekitar PLTU Cirebon I”, ujar Syaharani.
Hambatan-hambatan dalam proses transisi ini juga terefleksi dalam temuan lapangan SALAM Institute yang disadur dari laporan riset kolaboratif tersebut. SALAM Institute mengidentifikasi bahwa operasi PLTU telah memberikan banyak dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat sekitar. Temuan lapangan mengungkapkan meski banyak keluhan yang disampaikan oleh masyarakat, suara mereka sering kali tidak didengar oleh pemangku kebijakan, seperti kerusakan sosial dan ekologi yang berdampak pada merosotnya perekonomian masyarakat sekitar dari hasil tangkapan laut akibat laut yang tercemar PLTU, sampai dengan hubungan sosial yang tak lagi harmonis menjadi bunga-bunga problematika yang sulit bagimasyarakat.
Berita pensiun dini juga sama sekali tak terdengar oleh masyarakat yang paling kecil. Masyarakat di sekitar PLTU Cirebon 1 berharap, kalaupun PLTU Cirebon 1 dipensiunkan, akan dilakukan pemulihan kondisi laut. “Perbaikan kondisi ekologi dan ketenagakerjaan menjadi hal yang penting untuk mencapai keadilan. Jangan sampai, masyarakat ditinggal pergi dan menanggung beban kerusakan ekologi”, ujar Siti Latifah, peneliti dari SALAM Institute.
Rencana pensiun dini PLTU Cirebon I berpotensi menimbulkan banyak pemutusan hubungan kerja, namun hal ini belum mendapatkan perhatian serius dari para pemangku kebijakan. Pertanyaan kritis yang belum terjawab adalah apakah para pekerja eks-PLTU terdampak akan dialihkan ke pembangkit listrik berbasis energi terbarukan atau akan ada skema penyerapan tenaga kerja lainnya.
“Transisi energi itu perlu dilakukan, namun transisi seperti apa yang dibutuhkan, yang pasti dalam bertransisi ini harus memperhatikan keadilan untuk setiap entitas yang terlibat dalam prosesnya” ujar Maulida Zahra Pengacara Publik LBH Bandung dalam pemaparannya. Poin ini kiranya menegaskan bahwa transisi energi harus satu paket dengan memperhatikan transisi pekerja yang belum banyak dibicarakan.
Riset ini mengajukan beberapa rekomendasi penting. Dari aspek sosial, riset ini mendorong keterbukaan informasi, partisipasi bermakna, dan perubahan Amdal dalam proses pemensiunan PLTU Cirebon 1. Dalam aspek ketenagakerjaan, riset ini merekomendasikan revisi UU Cipta Kerja untuk memastikan pemenuhan hak-hak normatif pekerja, termasuk hak untuk berserikat dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan transisi. Selain itu, riset ini menekankan perlunya strategi konkret untuk alih daya dan transfer pekerja ke pasar pekerjaan hijau. Terakhir, riset mendesak penguatan pengawasan terhadap ketaatan regulasi ketenagakerjaan serta menjadikan momentum pemensiunan dini PLTU Cirebon 1 untuk menyamaratakan status pekerja kontrak/PKWT.
Narahubung:
Syaharani – Indonesian Center for Environmental Law, syaharani@icel.or.id
Maulida Zahra – LBH Bandung, maulidazhrr@lbhbandung.or.id
Siti Latifah, SALAM Institute, ifahsitilatifah12@gmail.com
Materi dapat diakses melalui tautan berikut: http://bit.ly/RisetPLTUCirebon1
Hasil riset dapat diakses melalui situs http://www.icel.or.id , http://www.lbhbandung.or.id/ , http://www.salaminstitute.org/[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]